Tari Kecak

Kecak (pelafalan: /'ke.tʃak/, secara kasar "KEH-chahk", pengejaan alternatif: Ketjak, Ketjack, dan Ketiak), adalah pertunjukan seni khas Bali yang diciptakan pada tahun 1930-an dan dimainkan terutama oleh laki-laki. Tarian ini dipertunjukkan oleh banyak (puluhan atau lebih) penari laki-laki yang duduk berbaris melingkar dan dengan irama tertentu menyerukan "cak" dan mengangkat kedua lengan, menggambarkan kisah Ramayana saat barisan kera membantu Rama melawan Rahwana. Namun demikian, Kecak berasal dari ritual sanghyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada pada kondisi tidak sadar[1], melakukan komunikasi dengan Tuhan atau roh para leluhur dan kemudian menyampaikan harapan-harapannya kepada masyarakat.

Para penari yang duduk melingkar tersebut mengenakan kain kotak-kotak seperti papan catur melingkari pinggang mereka. Selain para penari itu, ada pula para penari lain yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana seperti Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, dan Sugriwa.

Lagu tari Kecak diambil dari ritual tarian sanghyang. Selain itu, tidak digunakan alat musik. Hanya digunakan kincringan yang dikenakan pada kaki penari yang memerankan tokoh-tokoh Ramayana.

Sekitar tahun 1930-an Wayan Limbak bekerja sama dengan pelukis Jerman Walter Spies menciptakan tari Kecak berdasarkan tradisi Sanghyang dan bagian-bagian kisah Ramayana. Wayan Limbak mempopulerkan tari ini saat berkeliling dunia bersama rombongan penari Bali-nya.

Tari Legong

Legong merupakan sekelompok tarian klasik Bali yang memiliki pembendaharaan gerak yang sangat kompleks yang terikat dengan struktur tabuh pengiring yang konon merupakan pengaruh dari gambuh. Kata Legong berasal dari kata "leg" yang artinya gerak tari yang luwes atau lentur dan "gong" yang artinya gamelan. "Legong" dengan demikian mengandung arti gerak tari yang terikat (terutama aksentuasinya) oleh gamelan yang mengiringinya. Gamelan yang dipakai mengiringi tari legong dinamakan Gamelan Semar Pagulingan.

Legong dikembangkan di keraton-keraton Bali pada abad ke-19 paruh kedua.[1] Konon idenya diawali dari seorang pangeran dari Sukawati yang dalam keadaan sakit keras bermimpi melihat dua gadis menari dengan lemah gemulai diiringi oleh gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpinya itu dituangkan dalam repertoar tarian dengan gamelan lengkap.

Sesuai dengan awal mulanya, penari legong yang baku adalah dua orang gadis yang belum mendapat menstruasi, ditarikan di bawah sinar bulan purnama di halaman keraton. Kedua penari ini, disebut legong, selalu dilengkapi dengan kipas sebagai alat bantu. Pada beberapa tari legong terdapat seorang penari tambahan, disebut condong, yang tidak dilengkapi dengan kipas.

Struktur tarinya pada umumnya terdiri dari papeson, pangawak, pengecet, dan pakaad.

Dalam perkembangan zaman, legong sempat kehilangan popularitas di awal abad ke-20 oleh maraknya bentuk tari kebyar dari bagian utara Bali. Usaha-usaha revitalisasi baru dimulai sejak akhir tahun 1960-an, dengan menggali kembali dokumen lama untuk rekonstruksi.

Tari Pendet

Tari Pendet pada awalnya merupakan tari pemujaan yang banyak diperagakan di pura, tempat ibadat umat Hindu di Bali, Indonesia. Tarian ini melambangkan penyambutan atas turunnya dewata ke alam dunia. Lambat-laun, seiring perkembangan zaman, para seniman Bali mengubah Pendet menjadi "ucapan selamat datang", meski tetap mengandung anasir yang sakral-religius. Pencipta/koreografer bentuk modern tari ini adalah I Wayan Rindi (? - 1967).

Pendet merupakan pernyataan dari sebuah persembahan dalam bentuk tarian upacara. Tidak seperti halnya tarian-tarian pertunjukkan yang memerlukan pelatihan intensif, Pendet dapat ditarikan oleh semua orang, pemangkus pria dan wanita, dewasa maupun gadis.

Tarian ini diajarkan sekedar dengan mengikuti gerakan dan jarang dilakukan di banjar-banjar. Para gadis muda mengikuti gerakan dari para wanita yang lebih senior yang mengerti tanggung jawab mereka dalam memberikan contoh yang baik.

Tari putri ini memiliki pola gerak yang lebih dinamis daripada Tari Rejang yang dibawakan secara berkelompok atau berpasangan. Biasanya ditampilkan setelah Tari Rejang di halaman pura dan biasanya menghadap ke arah suci (pelinggih) dengan mengenakan pakaian upacara dan masing-masing penari membawa sangku, kendi, cawan, dan perlengkapan sesajen lainnya.

Saraswati

Sejarah Hari Raya Galungan masih merupakan misteri. Dengan mempelajari pustaka-pustaka, di antaranya Panji Amalat Rasmi (Jaman Jenggala) pada abad ke XI di Jawa Timur, GalunganS itu sudah dirayakan. Dalam Pararaton jaman akhir kerajaan Majapahit pada abad ke XVI, perayaan semacam ini juga sudah diadakan.
Menurut arti bahasa, Galungan itu berarti peperangan. Dalam bahasa Sunda terdapat kata Galungan yang berarti berperang.

Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Tidak berarti bahwa Gumi/ Jagad ini lahir pada hari Budha Keliwon Dungulan. Melainkan hari itulah yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan maha suksemaning idepnya ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya. Pada hari itulah umat angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segala-galanya di dunia ini.

Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan Kinasihan, tahu akan hutang budi.

Yang terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya itu adalah sikap batin. Mengenai bebanten tidak kami tuliskan secara lengkap dan terinci. Hanya ditulis yang pokok-pokok saja menurut apa yang umum dilakukan oleh umat. Namun sekali lagi, yang terpenting adalah kesungguhan niat dalam batin.

Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak Redite Pahing Dungulan kita didatangi oleh Kala-tiganing Galungan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan dan Sang Bhuta Amangkurat. Disebutkan dalam pustaka-pustaka itu: mereka adalah simbul angkara (keletehan). Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Menilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:

  1. Hari pertama = Sang Bhuta Galungan.
    Galungan berarti berperang/ bertempur. Berdasarkan ini, boleh kita artikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan kita baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (kita baru sekedar diserang).
  2. Hari kedua = Sang Bhuta Dungulan.
    Ia mengunjungi kita pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
  3. Hari ketiga = Sang Bhuta Amangkurat
    Hari Anggara Wage Dungulan kita dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).

Pendeknya, mula-mula kita diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai kita, bila kita pasif saja kepada serangan-serangan itu. Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati tersebut. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan itu.

Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugrah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma. Menghilangkan keletehan dari hati kita masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terimakasih, atas anugrah Hyang Widhi. Gembira atas anugrah tersebut, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.

Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Ia adalah lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata. Lebih-lebih pada hari raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang. Ini mempunyai arti: Penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugrah Hyang Widhi. Semua yang kita pergunakan adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada kita semua karena cinta kasihNya. Marilah kita bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma.
Kita bergembira dan bersukacita menerima anugrah-anugrah itu, baik yang berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun yang dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin. Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama. Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila. Agama disesuaikan dengan desa, kala dan patra. Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan persernbahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan, misalnya: di sanggah/ pemerajan, di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya. Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi.

Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain.
Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra (Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di perabot-perabot / alat-alat rumah tangga dan sebagainya.

Widhi-widhananya untuk di Sanggah/ parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya. Sesudah selesai menghaturkan upacara dan upakara tersebut kemudian kita menghaturkan segehan tandingan sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketentraman batin manusia.
Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan diliputi oleh suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia. Pada hari Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok tersebut.
Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.
Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan hari Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.

Nyepi

Hari Raya Nyepi adalah hari raya umat Hindu yang dirayakan setiap tahun Baru Saka. Hari ini jatuh pada hitungan Tilem Kesanga (IX) yang dipercayai merupakan hari penyucian dewa-dewa yang berada di pusat samudera yang membawa intisari amerta air hidup. Untuk itu umat Hindu melakukan pemujaan suci terhadap mereka.Tujuan dan rangkaian perayaan Tujuan utama Hari Raya Nyepi adalah memohon ke hadapan Tuhan Yang Mahaesa, untuk menyucikan Buwana Alit (alam manusia) dan Buwana Agung (alam semesta). Hari Raya Nyepi sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian perayaan yang lebih besar. Berikut perinciannya. Tawur (Pecaruan), Pengrupukan, dan Melasti Sehari sebelum Nyepi, yaitu pada "panglong ping 14 sasih kesanga", umat Hindu melaksanakan upacara Buta Yadnya di perempatan jalan dan lingkungan rumah masing-masing, dengan mengambil salah satu dari jenis-jenis caru (semacam sesajian) menurut kemampuannya. Buta Yadnya itu masing-masing bernama Pañca Sata (kecil), Pañca Sanak (sedang), dan Tawur Agung (besar). Tawur atau pecaruan sendiri merupakan penyucian/pemarisuda Buta Kala, dan segala leteh (kekotoran) diharapkan sirna semuanya. Caru yang dilaksanakan di rumah masing-masing terdiri dari nasi manca (lima) warna berjumlah 9 tanding/paket beserta lauk pauknya, seperti ayam brumbun (berwarna-warni) disertai tetabuhan arak/tuak. Buta Yadnya ini ditujukan kepada Sang Buta Raja, Buta Kala dan Batara Kala, dengan memohon supaya mereka tidak mengganggu umat. Mecaru diikuti oleh upacara pengerupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan pekarangan dengan mesiu, serta memukul benda-benda apa saja (biasanya kentongan) hingga bersuara ramai/gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Buta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar. Khusus di Bali, pengrupukan biasanya dimeriahkan dengan pawai ogoh-ogoh yang merupakan perwujudan Buta Kala yang diarak keliling lingkungan, dan kemudian dibakar. Tujuannya sama yaitu mengusir Buta Kala dari lingkungan sekitar. Tahap terakhir adalah melasti, yaitu menghanyutkan segala leteh (kotoran) ke laut, serta menyucikan pretima. Upacara ini dilakukan di laut, karena laut dianggap sebagai sumber amerta. Selambat-lambatnya pada tilem sore, melasti harus selesai. Nyepi Keesokan harinya, yaitu pada panglong ping 15 (atau tilem Kesanga), tibalah Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Pada hari ini dilakukan puasa Nyepi yang disebut "Catur Brata" Penyepian dan terdiri dari amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Brata ini dilakukan sejak sebelum matahari terbit. Menurut umat Hindu, segala hal yang bersifat peralihan, selalu didahului dengan perlambang gelap. Misalnya seorang bayi yang akan beralih menjadi anak-anak (1 oton/6 bulan), lambang ini diwujudkan dengan 'matekep guwungan' (ditutup sangkar ayam). Wanita yang beralih dari masa kanak-kanak ke dewasa (Ngeraja Sewala), upacaranya didahului dengan ngekep (dipingit). Demikianlah untuk masa baru, ditempuh secara baru lahir, yaitu benar-benar dimulai dengan suatu halaman baru yang putih bersih. Untuk memulai hidup dalam caka/tahun baru pun, dasar ini dipergunakan, sehingga ada masa amati geni. Intisari dari perlambang-perlambang lahir itu (amati geni), menurut lontar "Sundari Gama" adalah "memutihbersihkan hati sanubari", yang merupakan kewajiban bagi umat Hindu. Tiap orang berilmu (sang wruhing tattwa jñana) melaksanakan brata (pengekangan hawa nafsu), yoga ( menghubungkan jiwa dengan paramatma (Tuhan), tapa (latihan ketahanan menderita), dan samadi (manunggal kepada Tuhan, yang tujuan akhirnya adalah kesucian lahir batin). Semua itu menjadi keharusan bagi umat Hindu agar memiliki kesiapan batin untuk menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru. Kebiasaan merayakan hari raya dengan berfoya-foya, berjudi, mabuk-mabukan adalah sesuatu kebiasaan yang keliru dan mesti diubah. Ngembak Geni (Ngembak Api) Rangkaian terakhir dari perayaan Tahun Baru Saka adalah hari Ngembak Geni yang jatuh pada tanggal "ping pisan (1) sasih kedasa (X)". Pada hari inilah Tahun Baru Saka tersebut dimulai. Umat Hindu bersilaturahmi dengan keluarga besar dan tetangga, saling maaf memaafkan (ksama) satu sama lain. Dengan suasana baru, kehidupan baru akan dimulai dengan hati putih bersih. Jadi kalau tahun masehi berakhir tiap tanggal 31 Desember dan tahun barunya dimulai 1 Januari, maka tahun Çaka berakhir pada "panglong ping limolas (15) sasih kedasa (X)", dan tahun barunya dimulai tanggal 1 sasih kedasa (X).

Galungan

Galungan adalah hari raya suci Hindu yang jatuh pada Buda Kliwon Dungulan berdasarkan hitungan waktu bertemu sapta wara dan panca wara. Umat Hindu dengan penuh rasa bhakti melaksanakan rangkaian hari raya suci Galungan dan Kuningan dengan ritual keagamaan. [ Oleh : I Nyoman Dayuh, (UNHI - Dps)]

Menurut lontar Purana Bali Dwipa disebutkan :

"Punang aci galungan ika ngawit bu, ka, dungulan sasih kacatur tanggal 25, isaka 804, bangun indra bhuwana ikang bali rajya".


Artinya:

"Perayaan hari raya suci Galungan pertama adalah pada hari Rabu Kliwon, wuku Dungulan sasih kapat tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka, keadaan pulau Bali bagaikan lndra Loka".
Mulai tahun saka inilah hari raya Galungan terus dilaksanakan, kemudian tiba-tiba Galungan berhenti dirayakan entah dasar apa pertimbangannya, itu terjadi pada tahun 1103 saka saat Raja Sri Eka Jaya memegang tampuk pemerintahan sampai dengan pemerintahan Raja Sri Dhanadi tahun 1126 saka Galungan tidak dirayakan. Dan akhirnya Galungan baru dirayakan kembali pada saat Raja Sri Jaya Kasunu memerintah, merasa heran kenapa raja dan para pejabat yang memerintah sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui sebabnya beliau bersemedi dan mendapatkan pawisik dari Dewi Durgha menjelaskan pada raja, leluhumya selalu berumur pendek karena tidak merayakan Galungan, oleh karena itu Dewi Durgha meminta kembali agar Galungan dirayakan kembali sesuai dengan tradisi yang berlaku dan memasang penjor.

Macam - Macam Galungan

A. Galungan

Di dalam lontar Sundarigama menyebutkan pada Buda Kliwon wuku Dungulan disebut hari raya Galungan.

B. Galungan Nadi

Apabila Galungan jatuh pada bulan Purnama disebut Galungan Nadi, umat Hindu melaksanakan tingkatan upacara yang lebih utama. Berdasarkan Lontar Purana Bali Dwipa bahwa Galungan jatuh pada sasih kapat (kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka Bali bagaikan lndra Loka ini menandakan betapa meriahnya dan sucinya hari raya itu.

C. Galungan Naramangsa.

Dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala mengenai Galungan Naramangsa disebutkan apabila Galungan jatuh pada Tilem Kapitu dan sasih Kasanga rah 9, tengek 9, tidak dibenarkan merayakan hari raya Galungan dan menghaturkan sesajen berisi tumpeng seyogyanya umat mengadakan caru berisi nasi cacahan dicampur ubi keladi, bila melanggar akan diserbu oleh Balagadabah.

Ngaben

Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang dilakukan di Bali, khususnya oleh yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu Pura ini. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya. Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa.

Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam sekali upacara ini biasanya menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah. Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.

Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan oleh Pedanda. Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben.


Pagi hari ketika upacara ini dilaksanakan, keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat akan dibersihkan atau yang biasa disebut “Nyiramin” oleh masyarakat dan keluarga, “Nyiramin” ini dipimpin oleh orang yang dianggap paling tua didalam masyarakat. Setelah itu mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali seperti layaknya orang yang masih hidup. Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” untuk diusung beramai-ramai ke kuburan tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat, di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali. Sesampainya di kuburan, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat di “Lembu” yang telah disiapkan diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci.


Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.